COP30 Dorong Kerja Sama Selatan-Selatan untuk Tata Kelola Iklim yang Lebih Baik

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-30, dikenal sebagai COP30, yang sedang berlangsung di Belem, menyoroti pentingnya kerja sama Selatan-Selatan dalam memajukan tata kelola iklim global. Para pemimpin dan pakar menyerukan kolaborasi yang lebih kuat di antara negara-negara berkembang untuk menghadapi tantangan iklim.

“Kita berada di sini, di Belem, di muara Sungai Amazon,” ujar Simon Stiell, sekretaris eksekutif dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Ia menekankan perlunya dukungan berupa aliran kerja sama internasional seperti cara sungai diperkuat oleh anak-anak sungainya.

“COP ini harus menjadi titik awal bagi satu dekade percepatan dan aksi nyata,” ujar Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pembukaan KTT Aksi Iklim Para Pemimpin Dunia. Ia menekankan pentingnya momentum Belem sebagai titik balik dalam aksi iklim global.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva berharap konferensi tersebut fokus pada penetapan mekanisme tata kelola yang efektif di bawah PBB, termasuk potensi sanksi bagi negara yang gagal memenuhi komitmen iklim. Ketidakhadiran pejabat tinggi AS pada pertemuan ini menuai kritik karena dianggap menunjukkan kurangnya tanggung jawab “Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri,”.

Kerja sama Selatan-Selatan menjadi sorotan utama konferensi, dengan Brasil mengundang banyak negara untuk bersama-sama melindungi hutan hujan Amazon. Di wilayah miskin Amerika Latin dan Afrika, kolaborasi dalam energi terbarukan diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan manfaat ekonomi sekaligus mengatasi perubahan iklim. Lula menyoroti bahwa China telah menjadi model dalam transisi hijau berkat inovasi teknologi.

China, yang telah menyerahkan NDC 2035-nya, menunjukkan komitmen kuat dalam aksi iklim global melalui kerja sama Selatan-Selatan. Beijing telah menjalin 55 nota kesepahaman dengan 43 negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim. Solidaritas di antara negara-negara berkembang sangat penting “Kurangnya langkah nyata dari negara-negara maju justru mendorong negara-negara Global South untuk mempercepat transisi energi yang mandiri dan beragam, sekaligus mencari solusi pembiayaan iklim sendiri,”, dan China menjadi pendorong utama transisi hijau global.